Seorang peneliti rokok melansir prediksi pada abad 21 ini, akan ada satu miliar orang yang mati karena rokok. Michael Eriksen yang menulis buku Tobacco Atlas menyatakan, merokok juga membebani 1 sampai 2 persen pendapatan domestik bruto setia tahunnya.
Kerugian ekonomi itu termasuk biaya langsung dan tak langsung seperti pengeluaran perawatan kesehatan untuk penyakit terkait rokok dan kehilangan produktivitas. Kerugian akibat rokok bisa lebih besar lagi, kata asisten penulis Hana Ross, jika memperhitungkan biaya immaterial keluarga penderita atau kesakitan yang dirasakan pasien.
"Selama abad 20, tembakau telah membunuh 100 juta orang. Diperkirakan pada abad 21 ini, tembakau akan membunuh 1 miliar orang," Eriksen dalam peluncuran buku itu di Singapura, Rabu 21 Maret 2012.
Eriksen menjelaskan, populasi dunia telah tumbuh empat kali dibanding abad lalu, melewati angka 7 miliar pada akhir tahun. Ada sekitar 1 miliar pengguna tembakau di seluruh dunia saat ini dan 600 ribu non-perokok tewas setiap tahun karena eksposur rokok yang mana 75 persennya perempuan dan anak-anak.
China sejauh ini adalah konsumen terbesar rokok, 38 persen pada tahun 2009. China menghadapi biaya akibat merokok berlimpat empat menjadi US$28,9 miliar antara 2000 sampai 2008.
"China agak bermasalah karena industri tembakau bagian dari pemerintah," kata asisten penulis Judith Mackay. Langkah Beijing meningkatkan cukai tembakau dua tahun lalu juga tak mengubah harga pembelian rokok, bahkan hanya sekadar memanipulasi pajak yang dibayarkan ke pemerintah.
Padahal, negara berpenduduk terbanyak di dunia itu adalah satu dari 174 negara yang telah menandatangani dan meratifikasi Konvensi WHO tentang Pengendalian Tembakau.
Beberapa negara termasuk Amerika Serikat dan Argentina telah menandatangani namun belum meratifikasi. Sementara Indonesia, Uzbekistan dan Zimbabwe tak melakukan satu pun.
Eriksen menyebut Konvensi itu "tak bergigi." "Jika Anda meratifikasinya dan tak melakukan apapun, tak ada sanksi keuangan. Jelas itu salah karena harusnya ada giginya. Ini situasi antara hidup dan mati," katanya. (Reuters)
• VIVAnews