Aditya Putra - Okezone
Selasa, 18 Desember 2012 19:15 wib
Mulyo Handoyo & Taufik Hidayat (Rintani/okezone)
“Ibaratnya, kalau nggak ada orang ketiga, nggak bisa bercanda”
ITULAH ucapan yang keluar dari pelatih bulutangkis Mulyo Handoyo ketika ditanya tentang hubungan kesehariannya dengan Taufik Hidayat, pebulutangkis nasional dengan segudang prestasi, yang menjadi anak didiknya sejak 1996. Hubungan antara Taufik dan Mulyo memang seperti kawat, kaku baik di dalam maupun luar lapangan.
Namun, langkanya momen berbagi canda antara Taufik dan Mulyo bukan karena keduanya punya konflik atau sering berselisih. Tapi, begitulah cara mereka untuk mengerti dan paham satu sama lain.
“Jujur saja, setiap latihan, saya sama Taufik itu lebih banyak seriusnya, jadi hal itu sampai terbawa ke luar lapangan. Ibaratnya, kalau nggak ada orang ketiga, gak bisa bercanda, itu hingga bertahun-tahun,” ujar Mulyo. Justru, berawal dari sikap dingin seperti itulah medali emas Olimpiade dan gelar juara dunia digenggam Taufik.
Perjumpaan pertama Mulyo dengan Taufik terjadi di Pelatnas, 16 tahun silam. Taufik baru dipanggil, sedangkan sang pelatih sudah satu tahun melatih di Cipayung. Pertama kali menyaksikan, Mulyo menilai permainan Taufik enak ditonton, namun ia belum terlalu yakin karena menurutnya, untuk menjadi seorang juara dibutuhkan proses.
“Tapi setelah beberapa bulan melatih, saya bisa bilang Taufik luar biasa dan merupakan pemain masa depan. Program-program yang saya terapkan bisa dia ikuti hingga mencapai 90 persen dan peningkatannya sangat pesat,” ujar Mulyo saat ditemui Okezone di Taufik Hidayat Arena, Selasa (18/12/2012).
Di bawah asuhannya, permainan Taufik kian berkembang. Pebulutangkis asal Pangalengan, Kabupaten Bandung itu pun mulai bersinar pada akhir era 90an, setelah memenangi beberapa kejuaraan internasional. Prestasi yang dicapai Taufik menunjukkan bahwa ia cocok dengan metode latihan yang diberikan Mulyo.
Namun, pada 2001 Taufik “dipaksa” berpisah dengan Mulyo. Semua berawal dari kritik yang dilontarkan Taufik kepada Pengurus Besar Persatuan Bulu Tangkis Indonesia (PB PBSI). Dianggap tak bisa mengontrol anak asuhnya, PBSI pun kemudian mencopot jabatan Mulyo sebagai pelatih di Pelatnas. Padahal, Taufik sedang bertengger di peringkat satu dunia.
“Saat itu saya sebenarnya nggak tahu apa yang dibicarakan Taufik (kepada pengurus). Setelah itu, mungkin pengurus berpikir saya yang nyuruh, karena saya sampai dipanggil dan disidang, padahal saya nggak tahu sama sekali. Ya saya jawab apa adanya saja,” ujar pelatih kelahiran Pati berusia 52 tahun tersebut.
Selepas meninggalkan Pelatnas, Mulyo kemudian melatih Singapura, yang saat itu masih menganggap bulu tangkis sebagai olahraga rekreasi -prestasi bukan prioritas-. Merasa tak nyaman dengan suasana di Pelatnas, Taufik kemudian memutuskan keluar dan mengikuti jejak pelatihnya ke Negeri Singa.
Hanya dua bulan di Singapura, Taufik dipanggil pulang oleh PBSI, yang saat itu baru berganti kepengurusan. Taufik pun bersedia, kendati akhirnya tetap harus berpisah dengan Mulyo. Taufik kembali membela Indonesia, sedangkan sang pelatih di bawah bendera Singapura. Keduanya beberapa kali berjumpa di kejuaraan internasional.
Setelah dua setengah tahun berpisah, “kekompakan dalam dingin” itu hadir kembali pada 2004, saat Mulyo menyetujui permintaan PBSI untuk kembali melatih Taufik. “Karena saat di Singapura saya diterima dan diperlakukan dengan sangat baik, saya bersedia kembali ke Indonesia asalkan ada ‘permisi’ dari PBSI kepada Asosiasi Bulu Tangkis Singapura (BSA),” ujar Mulyo.
Namun, sebelum benar-benar deal kembali ke Pelatnas, ada satu pertanyaan yang dilontarkan Mulyo kepada Taufik. ”(Jelang tanda tangan kontrak), saya bertemu dengan Pak Chairul, Rudi Hartono, dan Taufik di Plaza Senayan. Saya tanya, ‘fik, kamu masih mau capek gak? Dia bilang mau. Saya memang butuh komitmen dari dia,” ujar Mulyo.
Komitmen itu pun dibuktikan Taufik. Kembali berada di tangan yang tepat, Taufik meraih prestasi terbaik sepanjang kariernya. Ia meraih medali emas pada Olimpiade 2004 di Athena, dan mengawinkannya dengan gelar juara dunia di Anaheim satu tahun berikutnya. Rasa puas, haru, dan bangga pun tak bisa disembunyikan Mulyo.
“Sebagai pelatih tentu saya juga menginginkan target tertinggi bisa tercapai. Meraih medali emas Olimpiade (2004) adalah momen yang paling tak terlupakan. Saya sebagai pelatih sangat bangga,” ujar Mulyo, yang memulai karier kepelatihannya di usia 22 tahun.
Pada 2009, Mulyo dan Taufik tak lagi di Pelatnas, namun kebersamaan mereka terus berlanjut. Taufik, yang selanjutnya menjadi pemain profesional, mendirikan manajemen olahraga bernama TH Force dan berlatih di GOR Bantong, Cijantung yang ia sewa. Mulyo pun diajaknya untuk menjadi pelatih.
Kini, Taufik tak perlu menyewa tempat lagi, karena telah membangun sarana olahraga yang berdiri di atas tanah seluas 6.600m² bernama Taufik Hidayat Arena (THA). Tentu, Mulyo pun kembali menjadi sosok yang dipercaya Taufik untuk menjadi pelatih kepala di arena yang diresmikan Senin (10/12/2012) lalu tersebut.
Sementara dalam urusan karier, Taufik sudah memutuskan akan pensiun usai mengikuti gelaran Indonesia Open, September 2013. Sebelumnya, ia mengatakan akan mempertimbangkan pensiun usai Olimpiade 2012. Namun, minimnya pemain muda berkualitas yang bisa menggantikannya, Taufik pun tak bisa pensiun dengan terburu-buru.
Pebulutangkis yang kini berusia 31 tahun itu sempat berbincang dengan Mulyo terkait kelanjutan kariernya. “Saya bilang, 'kalau kamu masih jadi pemain tapi setengah hati ya nggak ada gunanya'. Saya tidak memaksa, tapi saya minta dia untuk memikirkannya lebih jauh,” ujar Mulyo.
Kini, waktu pensiun Taufik akan tiba hanya dalam hitungan bulan, namun kebersamaannya dengan Mulyo dipastikan tak akan berhenti sampai di situ. Melalui THA, Mulyo pun berharap bisa muncul Taufik-Taufik berikutnya. “Saya akan kembangkan THA, kan ini untuk Indonesia juga,” pungkas Mulyo, yang juga terbesit niat mendirikan klub bersama Taufik. (dit)