Pemerintah telah memahami subsidi ini hanya membuang-buang anggaran.
Sepanjang tahun ini pemerintah harus mengeluarkan anggaran subsidi energi hampir seperempat anggaran belanja pemerintah. Subsidi yang sebenarnya banyak dinikmati orang-orang menengah ke atas.
Pemerintah yang sudah menetapkan subsidi energi sebesar Rp202 triliun --tidak termasuk dana cadangan risiko energi sebesar Rp23 triliun-- pada RAPBN, ternyata harus dilanggar. Pemerintah tengah melobi DPR untuk menaikkan anggaran subsidi lagi Rp105 triliun menjadi Rp305 triliun.
Dari usulan yang diajukan pemerintah, tambahan anggaran subsidi bahan bakar minyak, bahan bakar nabati, dan gas elpiji 3 kg mencapai Rp79,3 triliun. Sedangkan untuk subsidi listrik bertambah Rp24,2 triliun.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, jebolnya anggaran subsidi energi karena realisasi harga minyak mentah Indonesia (ICP) selama tahun ini melebihi asumsi yang ditetapkan pemerintah, US$105 per barel. "Saat ini rata-rata ICP sebesar US$114, khusus September tercatat US$111," kata Bambang di Gedung DPR, Jakarta, 15 Oktober.
Data pemerintah menunjukkan kuota subsidi BBM hingga Agustus telah mencapai 29,5 juta kiloliter, meningkat 27,3 persen dibandingkan periode tahun sebelumnya. Konsumsi ini sudah setara dengan 73,3 persen dari total kuota APBN 40 juta kl. "Karena itu butuh penambahan 4,04 juta kl," katanya.
Korban pertumbuhan
Bank Dunia menilai Indonesia telah menjadi korban pertumbuhan ekonomi diri sendiri. Alasannya, membaiknya ekonomi telah membuat konsumsi BBM yang masih disubsidi semakin meningkat, sehingga membebani anggaran belanja. "Indonesia menjadi korban atas keberhasilan ekonominya sendiri," kata Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia, Shubham Chadhuri di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Shubham menjelaskan, pertumbuhan ekonomi yang melesat telah meningkatkan jumlah kendaraan bermotor jenis mobil dan sepeda motor di Indonesia. Akibatnya, konsumsi BBM di Tanah Air juga semakin meningkat. "Ternyata konsumsi selalu lebih tinggi dari apa yang pemerintah proyeksikan di awal tahun," katanya.
Bank Dunia menilai kondisi fiskal Indonesia pada 2008, ketika krisis keuangan mulai muncul, berbeda dengan situasi saat ini. Pada 2008, kenaikan harga minyak dunia masih mampu dihadapi pemerintah, karena kondisi keuangan yang cukup baik.
Pada periode itu Indonesia masih cukup kuat dan mampu membiayai anggaran subsidi. Pada 2008, pemerintah sebetulnya memiliki pilihan mengurangi subsidi agar bisa memperbaiki situasi dengan lebih baik. Namun, politik tak merestui langkah ini.
Angaran pemerintah terus terbebani seiring dengan menguatnya harga minyak mentah dunia. Produk domestik bruto (PDB) juga semakin menurun. Tentu sajam masyarakat pun mulai migrasi kembali menggunakan BBM jenis Premium yang harganya setengahnya dari bensin tak bersubsidi.
Sayangnya pemerintah tak memiliki lagi pilihan untuk menaikkan harga BBM. Politisi DPR tak setuju pemerintah menaikkan harga. Padahal semestinya mengambil keputusan menaikkan BBM.
"(Menaikkan BBM) akan membantu menumbuhkan perekonomian dan ini untuk jangka panjang," kata dia.
Hanya dinikmati orang kaya
Belanja subsidi energi yang terlalu tinggi bisa menghambat fleksibilitas pemerintah dalam menangani penurunan ekonomi dunia.
Laporan perkembangan triwulan perekonomian Indonesia edisi Oktober 2012 yang dikeluarkan Bank Dunia menyebutkan, belanja subsidi yang meningkat membawa opportunity cost yang tinggi, dan menambah ketidakpastian terhadap kesehatan fiskal ke depan.
"Sayangnya subsidi ini justru lebih menguntungkan rumah tangga kaya daripada rumah tangga miskin," kata Ekonom Utama dan Penasihat Ekonomi Bank Dunia untuk Indonesia, Ndiame Diop, di Jakarta.
Ia menjelaskan, subsidi energi membawa risiko mengurangi investasi publik yang sangat dibutuhkan. Kegagalan perbaikan subsidi energi dapat menurunkan outlook pertumbuhan di masa depan.
Subsidi BBM dalam R-APBN 2013 memakan 70 persen dari anggaran subsidi energi, meningkat 41 persen dari APBN-P 2012.
Ekonom Standard Chartered Fauzi Ichsan menjelaskan, sebenarnya pemerintah telah memahami subsidi BBM ini hanya membuang-buang anggaran. Alasannya, kurang dari 10 persen orang miskin yang menikmati subsidi BBM.
Menurut dia, yang terpenting bagi pemerintah saat ini adalah meyakinkan parlemen untuk mendorong pengurangan subsidi BBM dengan menaikkan harga. Ia menyatakan, dengan menaikkan harga BBM sebesar 30 persen, pemerintah akan mempunyai banyak ruang untuk kebijakan fiskal.
Hapus subsidi
Imbauan serupa juga datang dari Sekretaris Jenderal Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), Angel Gurria. Ia mengingatkan, anggaran subsidi yang dialokasikan pemerintah terlalu besar dan dapat memperkecil ruang fiskal untuk mengembangkan sektor lain.
Gurria mengatakan, Indonesia perlu menekan anggaran subsidi, karena jika terus meningkat, bisa menjadi ancaman bagi stabilitas ekonomi. "Pikirkan dampaknya, subsidi energi di negara ini mengambil jatah hampir seperempat dari total budget," ujar Gurria.
Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria, mengatakan, menurunkan atau bahkan menghapus subsidi energi merupakan suatu hal yang mustahil dilakukan sepanjang masih ada perbedaan persepsi antara pemerintah, elite politik, dan elite masyarakat.
"Siapa pun yang berkuasa tanpa dukungan parlemen sulit menurunkan subsidi menjadi. Ini akan jadi wacana belaka,” katanya kepada VIVAnews, Jumat 5 Oktober.
Menurut dia, presiden yang berkuasa termasuk parpol pemenang pemilu yang tidak menguasai parlemen, mustahil bisa mengegolkan kebijakan menurunkan subsidi energi. “Jadi, untuk mengatasi hal tersebut harus ada solusi yang cerdas dan mendapat dukungan rakyat,” kata dia.
Ia mengungkapkan, penurunan subsidi dengan alasan memberatkan APBN pasti akan mendapat reaksi keras dari masyarakat, karenanya harus ada solusi yang bisa dimaklumi oleh rakyat.
“Penghapusan subsidi BBM yang dikaitkan dengan pembangunan infrastruktur yang harus dibiayai oleh APBN tidak akan dimaklumi, karena tidak adanya trust masyarakat terhadap pemerintah.”
Pemerintah harus tegas dan cerdas membuat kebijakan agar pemanfaatan bahan bakar non-BBM bisa dimaksimalkan dan tidak menjadikan sebagai energi alternatif. "Selama ini, BBM non-subsidi hanya jadi alternatif," tuturnya. (sj)